Mengkritik dengan Etika
Terlepas dari pro kontra hukum demonstrasi, namun tidak berarti demonstrasi itu bebas menyampaikan pendapat tanpa mengedepankan etika dan moralitas. Kalau ini terjadi, maka demonstrasi itu akan kebablasan. Akibatnya merugikan rakyat, masyarakat dan kita semua.
Buktinya, dapat dilihat di beberapa hari terakhir ini. Bermula dari demonstrasi mahasiswa, serta berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia, yang menuntut pengusutan kasus bank Century, yang disinyalir merugikan negara sekitar RP. 6,7 Triliun oleh oknum pejabat Negara.
Namun, demonstrasi yang dilakukan dengan meluapkan segala emosi, kekesalan, tanpa etika, tidak mengedepankan moralitas yang baik. Justru berujung ricuh, bentrok, terjadi perkelahian yang melibatkan mahasiswa, masyarakat sipil, serta polisi. Salah satu pemicunya, adalah ketidak sepahaman antara polisi dengan aktivis HMI cabang Makassar, yang meluapkan kekesalannya dengan memblokir membakar ban di jalan. Sehingga, mengganggu ketertiban umum, perjalanan masyarakat terhambat.
Tentu saja, aksi tersebut dilarang polisi. Namun, pelarangan polisi tersebut, tidak diterima dengan baik oleh mahasiswa (baca aktivis HMI). Entah siapa yang memulai, akhirnya perkelahian tidak bisa dielakkan. Rabu, 3 Maret 2010 akan menjadi saksi betapa kekuatan yang tidak seimbang antara mahasiswa dan polisi, menyebabkan pengrusakan sekretariat HMI Cabang Makassar, Sulawesi Selatan.
Tindakan anarkis oknum polisi tersebut, menuai protes dan solidaritas mahasiswa lainnya. Aksi solidaritas terus membahana di seluruh bumi persada, mulai dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, hingga Daerah Sumatera. Berbagai aksi yang dilakukan mahasiswa diberbagai daerah berujung bentrok, antara polisi dan mahasiswa. Akibatnya, puluhan luka-luka dari kedua belah pihak, berbagai fasilitas umum hancur, seperti; traffic light, mesin ATM, bahkan hingga kendaraan pribadi. Menyaksikan semua itu, kita hanya bisa menggerutu, menyesal, serta saling menyalahkan.
Menurut, salah seorang aktivis PB HMI Jakarta, bentrokan yang terjadi, tidak lepas dari sebuah skenario besar untuk mengkriminalisasi gerakan mahasiswa. Hal ini juga, diamini oleh akademisi sekaligus aktivis pergerakan Unhas, Dr. Hamid Paddu, bentrokan yang terjadi antar mahasiswa dan polisi tidak lepas dari sebuah upaya sistematis, demi mengkriminalisasi gerakan mahasiswa.
Olehnya itu, agar tidak terjadi buruk sangka, serta mencari fakta yang sebenarnya, yang menjadi penyebab terjadinya bentrok antara polisi dan mahasiswa. Maka, Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Adang Rochjana, dan pengurus HMI sepakat membentuk Tim Pencari Fakta. Menurut Kapolda, TPF bertugas mencari fakta yang sebenarnya, siapa yang salah akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku, baik dari pihak polisi, maupun dari mahasiswa.
Mengedepankan Etika
Terlepas dari siapa yang salah, siapa yang jadi pemicu, dari semua akumulasi aksi demonstrasi yang kerap berujung bentrok. Namun, menurut hemat penulis, ada sesuatu yang mendasar, yang telah hilang, diabaikan oleh sebagian besar anak bangsa ini, baik kalangan pemerintah, mahasiswa atau masyarakat sipil. Padahal, sebagai sebuah bangsa yang besar, bangsa yang mayoritas penduduknya Islam, hal ini tidak boleh diabaikan.
Jika merunut ke belakang, persoalan mendasar tersebut yakni: Pertama, bangsa ini telah kehilangan etika, moralitas, terutama dalam hal beramar ma’ruf nahi mungkar terhadap pemimpin. Berbeda pendapat, menyampaikan pendapat, ataupun mengkritik atau menasehati pemimpin. Bukan dilarang. Bahkan, sesuatu yang wajib jika pemimpin tersebut telah melanggar syariat Allah.
Namun, tetaplah menjunjung etika dan sopan santun. Metode penyampaiannyapun tidak mesti dengan demonstrasi, yang tidak sedikit mudharatnya, baik yang melakukan aksi, maupun dapat merugikan masyarakat pada umumnya. Nasehat tersebut bisa disampaikan melalui perwakilan masyarakat (baca anggota DPR/MPR/DPD), atau para ulama, ustadz yang paham dengan agama.
Hal ini, agar pemimpin kita mudah mendengar nasehat, merasa tetap dihargai, dihormati. Tanpa merasa dirinya dipermalukan, dilecehkan, atau harganya dirinya ditiadakan. Kalau hal tersebut telah dilakukan, dan penguasapun tetap tidak mendengar nasehat kita. Maka tetap perlu dan harus bersabar.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam bahwa, ”Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dari amir (pemimpinnya) maka hendaklah bersabar. Tidaklah seseorang yang keluar dari sultan (penguasa) sejengkal saja lalu dia mati kecuali ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Salah seorang dari Imam empat mazhab dalam Islam, Imam Ahmad menegaskan,”Barangsiapa memberontak imam kaum muslimin padahal umat telah bersatu di bawahnya dan mengakui kekhalifahannya, baik dengan kerelaan maupun dengan kekuatan maka ia telah memecah-belah kesatuan umat Islam dan menyalahi hadits-hadits Rasulullah saw. Kalau ia mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyah. Tidak halal bagi seorang pun memerangi dan menyerang sultan (penguasa). Barangsiapa melakukannya, maka ia adalah pelaku bid’ah, menyimpang dari sunnah dan jalannya.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah hal 257 – 258)
Demikianlah, Islam memandang pentingnya menghormati seorang pemimpin, namun, bagi pemimpin yang dzhalim terhadap rakyatnya, tetap jalan terbaik adalah bersabar. Akan tetapi bersabar di sini bukan berarti ridho dengan kezhaliman yang dilakukan, sekalipun ia adalah seorang pemimpin, khalifah atau imam. Ia juga berhak mendapatkan nasehat dan peringatan dari rakyatnya.
Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan dari Tamim ad-Dariy bahwa Rasulullah bersabda: “Agama adalah nasehat”. (tiga kali). Maka para sahabat bertanya: Bagi siapa wahai Rasulullah ? Nabi menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam (pemimpin) kaum muslimin dan orang-orang awam dari mereka (kaum muslimin)”. (HR. Muslim).
Namun, sekali lagi kesabaran terhadap kerusakan, kemaksiatan kezhaliman yang dilakukan seorang pemimpin bukanlah berarti orang tersebut berdiam diri, menunggu dengan pasif sambil berharap akan adanya perubahan tanpa melakukan suatu upaya perubahan. Tapi, upaya perubahan itu, dilakukan dengan langkah bijak, tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, seperti; demonstrasi yang justru lebih banyak mudharatnya, merugikan masyarakat, serta pengrusakan terhadap fasilitas umum.
Kedua, hilangnya sikap saling menghormati dan menghargai. Saling mencaci, menghina, melecehkan, atau membuka aib pemimipin. Rakyat tidak lagi menghormati pemimpinnya, akibat berbagai pelanggaran yang mereka lakukan. Begitupun sebaliknya, pemimpin selalu melakukan tindakan represif terhadap rakyat. Apa yang dilakukan aparat terhadap mahasiswa, tidak lepas dari rasa superioritas. Sehingga, semua persoalan selalu ingin diselesaikan dengan kekekarasan dan kekuatan senjata.
Padahal, tidak seharusnya terjadi. Upaya negosiasi, menyelesaikan dengan kepala dingin, jauh lebih elegan, lebih bermartabat, lebih terhormat bagi kedua belah pihak. Berbagai buruk sangka dalam menyelesaikan sebuah masalah, tidak menghasilkan sebuah keputusan yang bermanfaat. Dalam firmanNya Allah SWT sangat mencela perbuatan buruk sangka, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Olehnya itu, sesulit apapun persoalan yang dihadapi, musyawarah tetap jalan terbaik dalam menyelesaikannya. Marilah duduk bersama, berdiskusi, demi solusi yang terbaik, yang akan menguntungkan semua. Pemerintah, polisi, mahasiswa, rakyat kecil, semuanya tetap, dan akan selalu berbuat dan bertindak, demi kebaikan kita semua. Hanya perbedaan metode dan cara pandang yang kadang membuat kita berpecah, yang berujung pada pertikaian, dan pertengkaran.
Jangan Terprovokasi
Fenomena menyampaikan pendapat dengan demonstrasi, yang dilakukan oleh elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, akademisi, pelajar, hingga buruh sekalipun. Tidak lepas dari sebuah upaya menyampaikan pendapat atas sebuah kebenaran yang diyakininya. Namun, yang patut disayangkan dan disesali, berbagai aksi demonstrasi, selalu berujung pada bentrokan, perkelahian, yang menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas umum, baik milik masyarakat maupun milik negara.
Sehingga, yang menanggung akibatnya, bukan siapa-siapa. Tapi masyarakat dan kita semua. Hal ini disebabkan, setiap demonstrasi yang dilakukan, tidak berdasar atas etika dan moralitas. Bahkan, mengabaikan akal sehat, yang ada hanyalah nafsu emosi dan amarah. Olehnya itu, sedikit provokasi saja, akan menyebabkan perkelahian, tindakan anarkis, serta pengrusakan di mana-mana.
Sampai kapan, fenomena ini akan terus terjadi. Para mahasiswa, serta generasi muda lainnya, harus menyadari mudharatnya. Mahasiswa harus belajar nilai-nilai ajaran Islam yang benar. Ilmu yang bersifat materialistik yang dominan didapatkan di bangku sekolah dan kuliah, harus diimbangi dengan ilmu agama, yang tidak mengajarkan tentang aqidah, ibadah, tetapi juga tentang akhlakul karimah, etika, adab pergaulan.
Olehnya itu, dakwah ajaran Islam, yang bersumber dari Al Qur’an, dan sunnah harus digalakkan di lingkungan kampus. Majelis-majelis ilmu perlu dihidupkan, ini menjadi tugas, pemerintah, pimpinan kampus, dai, dan kita semua. Mahasiwa harus dibekali dengan ilmu agama, agar tidak mudah tersulut emosi dan kemarahannya.
Mahasiswa juga tidak mudah terprovokasi, oleh oknum yang ingin selalu membuat kita terpecah belah, saling sikut, sampai saling membunuh. Berdasarkan temuan TPF bentukan mahasiswa, perkelahian yang terjadi sangat kental nuansa rekayasanya, serta skenario yang ingin membenturkan polisi, mahasiswa dan rakyat sipil.
Dalam hal ini, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[Burhanuddin]
(Buletin Nasional Al Balagh Edisi 06 Tahun I/Rabiul Awal 1431 H/12 Maret 2010)
Sumber Tulisan: http://wahdah.or.id/mengkritik-dengan-etika/
Terlepas dari pro kontra hukum demonstrasi, namun tidak berarti demonstrasi itu bebas menyampaikan pendapat tanpa mengedepankan etika dan moralitas. Kalau ini terjadi, maka demonstrasi itu akan kebablasan. Akibatnya merugikan rakyat, masyarakat dan kita semua.
Buktinya, dapat dilihat di beberapa hari terakhir ini. Bermula dari demonstrasi mahasiswa, serta berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia, yang menuntut pengusutan kasus bank Century, yang disinyalir merugikan negara sekitar RP. 6,7 Triliun oleh oknum pejabat Negara.
Namun, demonstrasi yang dilakukan dengan meluapkan segala emosi, kekesalan, tanpa etika, tidak mengedepankan moralitas yang baik. Justru berujung ricuh, bentrok, terjadi perkelahian yang melibatkan mahasiswa, masyarakat sipil, serta polisi. Salah satu pemicunya, adalah ketidak sepahaman antara polisi dengan aktivis HMI cabang Makassar, yang meluapkan kekesalannya dengan memblokir membakar ban di jalan. Sehingga, mengganggu ketertiban umum, perjalanan masyarakat terhambat.
Tentu saja, aksi tersebut dilarang polisi. Namun, pelarangan polisi tersebut, tidak diterima dengan baik oleh mahasiswa (baca aktivis HMI). Entah siapa yang memulai, akhirnya perkelahian tidak bisa dielakkan. Rabu, 3 Maret 2010 akan menjadi saksi betapa kekuatan yang tidak seimbang antara mahasiswa dan polisi, menyebabkan pengrusakan sekretariat HMI Cabang Makassar, Sulawesi Selatan.
Tindakan anarkis oknum polisi tersebut, menuai protes dan solidaritas mahasiswa lainnya. Aksi solidaritas terus membahana di seluruh bumi persada, mulai dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, hingga Daerah Sumatera. Berbagai aksi yang dilakukan mahasiswa diberbagai daerah berujung bentrok, antara polisi dan mahasiswa. Akibatnya, puluhan luka-luka dari kedua belah pihak, berbagai fasilitas umum hancur, seperti; traffic light, mesin ATM, bahkan hingga kendaraan pribadi. Menyaksikan semua itu, kita hanya bisa menggerutu, menyesal, serta saling menyalahkan.
Menurut, salah seorang aktivis PB HMI Jakarta, bentrokan yang terjadi, tidak lepas dari sebuah skenario besar untuk mengkriminalisasi gerakan mahasiswa. Hal ini juga, diamini oleh akademisi sekaligus aktivis pergerakan Unhas, Dr. Hamid Paddu, bentrokan yang terjadi antar mahasiswa dan polisi tidak lepas dari sebuah upaya sistematis, demi mengkriminalisasi gerakan mahasiswa.
Olehnya itu, agar tidak terjadi buruk sangka, serta mencari fakta yang sebenarnya, yang menjadi penyebab terjadinya bentrok antara polisi dan mahasiswa. Maka, Kapolda Sulselbar Irjen Polisi Adang Rochjana, dan pengurus HMI sepakat membentuk Tim Pencari Fakta. Menurut Kapolda, TPF bertugas mencari fakta yang sebenarnya, siapa yang salah akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku, baik dari pihak polisi, maupun dari mahasiswa.
Mengedepankan Etika
Terlepas dari siapa yang salah, siapa yang jadi pemicu, dari semua akumulasi aksi demonstrasi yang kerap berujung bentrok. Namun, menurut hemat penulis, ada sesuatu yang mendasar, yang telah hilang, diabaikan oleh sebagian besar anak bangsa ini, baik kalangan pemerintah, mahasiswa atau masyarakat sipil. Padahal, sebagai sebuah bangsa yang besar, bangsa yang mayoritas penduduknya Islam, hal ini tidak boleh diabaikan.
Jika merunut ke belakang, persoalan mendasar tersebut yakni: Pertama, bangsa ini telah kehilangan etika, moralitas, terutama dalam hal beramar ma’ruf nahi mungkar terhadap pemimpin. Berbeda pendapat, menyampaikan pendapat, ataupun mengkritik atau menasehati pemimpin. Bukan dilarang. Bahkan, sesuatu yang wajib jika pemimpin tersebut telah melanggar syariat Allah.
Namun, tetaplah menjunjung etika dan sopan santun. Metode penyampaiannyapun tidak mesti dengan demonstrasi, yang tidak sedikit mudharatnya, baik yang melakukan aksi, maupun dapat merugikan masyarakat pada umumnya. Nasehat tersebut bisa disampaikan melalui perwakilan masyarakat (baca anggota DPR/MPR/DPD), atau para ulama, ustadz yang paham dengan agama.
Hal ini, agar pemimpin kita mudah mendengar nasehat, merasa tetap dihargai, dihormati. Tanpa merasa dirinya dipermalukan, dilecehkan, atau harganya dirinya ditiadakan. Kalau hal tersebut telah dilakukan, dan penguasapun tetap tidak mendengar nasehat kita. Maka tetap perlu dan harus bersabar.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam bahwa, ”Barangsiapa yang tidak menyukai sesuatu dari amir (pemimpinnya) maka hendaklah bersabar. Tidaklah seseorang yang keluar dari sultan (penguasa) sejengkal saja lalu dia mati kecuali ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)
Salah seorang dari Imam empat mazhab dalam Islam, Imam Ahmad menegaskan,”Barangsiapa memberontak imam kaum muslimin padahal umat telah bersatu di bawahnya dan mengakui kekhalifahannya, baik dengan kerelaan maupun dengan kekuatan maka ia telah memecah-belah kesatuan umat Islam dan menyalahi hadits-hadits Rasulullah saw. Kalau ia mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyah. Tidak halal bagi seorang pun memerangi dan menyerang sultan (penguasa). Barangsiapa melakukannya, maka ia adalah pelaku bid’ah, menyimpang dari sunnah dan jalannya.” (Prinsip-prinsip Gerakan Da’wah hal 257 – 258)
Demikianlah, Islam memandang pentingnya menghormati seorang pemimpin, namun, bagi pemimpin yang dzhalim terhadap rakyatnya, tetap jalan terbaik adalah bersabar. Akan tetapi bersabar di sini bukan berarti ridho dengan kezhaliman yang dilakukan, sekalipun ia adalah seorang pemimpin, khalifah atau imam. Ia juga berhak mendapatkan nasehat dan peringatan dari rakyatnya.
Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan dari Tamim ad-Dariy bahwa Rasulullah bersabda: “Agama adalah nasehat”. (tiga kali). Maka para sahabat bertanya: Bagi siapa wahai Rasulullah ? Nabi menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam (pemimpin) kaum muslimin dan orang-orang awam dari mereka (kaum muslimin)”. (HR. Muslim).
Namun, sekali lagi kesabaran terhadap kerusakan, kemaksiatan kezhaliman yang dilakukan seorang pemimpin bukanlah berarti orang tersebut berdiam diri, menunggu dengan pasif sambil berharap akan adanya perubahan tanpa melakukan suatu upaya perubahan. Tapi, upaya perubahan itu, dilakukan dengan langkah bijak, tidak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, seperti; demonstrasi yang justru lebih banyak mudharatnya, merugikan masyarakat, serta pengrusakan terhadap fasilitas umum.
Kedua, hilangnya sikap saling menghormati dan menghargai. Saling mencaci, menghina, melecehkan, atau membuka aib pemimipin. Rakyat tidak lagi menghormati pemimpinnya, akibat berbagai pelanggaran yang mereka lakukan. Begitupun sebaliknya, pemimpin selalu melakukan tindakan represif terhadap rakyat. Apa yang dilakukan aparat terhadap mahasiswa, tidak lepas dari rasa superioritas. Sehingga, semua persoalan selalu ingin diselesaikan dengan kekekarasan dan kekuatan senjata.
Padahal, tidak seharusnya terjadi. Upaya negosiasi, menyelesaikan dengan kepala dingin, jauh lebih elegan, lebih bermartabat, lebih terhormat bagi kedua belah pihak. Berbagai buruk sangka dalam menyelesaikan sebuah masalah, tidak menghasilkan sebuah keputusan yang bermanfaat. Dalam firmanNya Allah SWT sangat mencela perbuatan buruk sangka, ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Olehnya itu, sesulit apapun persoalan yang dihadapi, musyawarah tetap jalan terbaik dalam menyelesaikannya. Marilah duduk bersama, berdiskusi, demi solusi yang terbaik, yang akan menguntungkan semua. Pemerintah, polisi, mahasiswa, rakyat kecil, semuanya tetap, dan akan selalu berbuat dan bertindak, demi kebaikan kita semua. Hanya perbedaan metode dan cara pandang yang kadang membuat kita berpecah, yang berujung pada pertikaian, dan pertengkaran.
Jangan Terprovokasi
Fenomena menyampaikan pendapat dengan demonstrasi, yang dilakukan oleh elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, akademisi, pelajar, hingga buruh sekalipun. Tidak lepas dari sebuah upaya menyampaikan pendapat atas sebuah kebenaran yang diyakininya. Namun, yang patut disayangkan dan disesali, berbagai aksi demonstrasi, selalu berujung pada bentrokan, perkelahian, yang menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas umum, baik milik masyarakat maupun milik negara.
Sehingga, yang menanggung akibatnya, bukan siapa-siapa. Tapi masyarakat dan kita semua. Hal ini disebabkan, setiap demonstrasi yang dilakukan, tidak berdasar atas etika dan moralitas. Bahkan, mengabaikan akal sehat, yang ada hanyalah nafsu emosi dan amarah. Olehnya itu, sedikit provokasi saja, akan menyebabkan perkelahian, tindakan anarkis, serta pengrusakan di mana-mana.
Sampai kapan, fenomena ini akan terus terjadi. Para mahasiswa, serta generasi muda lainnya, harus menyadari mudharatnya. Mahasiswa harus belajar nilai-nilai ajaran Islam yang benar. Ilmu yang bersifat materialistik yang dominan didapatkan di bangku sekolah dan kuliah, harus diimbangi dengan ilmu agama, yang tidak mengajarkan tentang aqidah, ibadah, tetapi juga tentang akhlakul karimah, etika, adab pergaulan.
Olehnya itu, dakwah ajaran Islam, yang bersumber dari Al Qur’an, dan sunnah harus digalakkan di lingkungan kampus. Majelis-majelis ilmu perlu dihidupkan, ini menjadi tugas, pemerintah, pimpinan kampus, dai, dan kita semua. Mahasiwa harus dibekali dengan ilmu agama, agar tidak mudah tersulut emosi dan kemarahannya.
Mahasiswa juga tidak mudah terprovokasi, oleh oknum yang ingin selalu membuat kita terpecah belah, saling sikut, sampai saling membunuh. Berdasarkan temuan TPF bentukan mahasiswa, perkelahian yang terjadi sangat kental nuansa rekayasanya, serta skenario yang ingin membenturkan polisi, mahasiswa dan rakyat sipil.
Dalam hal ini, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[Burhanuddin]
(Buletin Nasional Al Balagh Edisi 06 Tahun I/Rabiul Awal 1431 H/12 Maret 2010)
Fatwa Admin Wahdah | Demonstrasi |
Sumber Tulisan: http://wahdah.or.id/mengkritik-dengan-etika/
"Maka berbicaralah kamu berdua (Musa & Harun Alaihimassalam) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang LEMAH LEMBUT, mudah-mudahan ia ingat atau takut" [TQS. Thoha (20):44]