Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. [Faathir (35):28]
Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan senantiasa bertaqwa kepada-Nya, takut akan adzab-Nya dengan senantiasa melaksanakan ketaatan serta menjauhi maksiat kepada-Nya hanyalah ulama, orang-orang yang memiliki ilmu tentang Allah Subhanahu wata'ala dan sifat-sifat-Nya serta syariat-Nya demikian pula ilmu tentang ke-Maha Kuasa-an Allah Ta'ala atas segala sesuatu.[1]
Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu ketika menafsirkan ayat di atas, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama", beliau mengatakan :
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Semakin ber-ilmu seharusnya menjadikan seseorang semakin banyak menangis, bukan malah sebaliknya semakin banyak tertawa dan mengajak jama'ah untuk tertawa pula.
Semakin bertambah ilmu seharusnya menjadikan seseorang semakin banyak bersedih, menangisi dirinya dan bersedih melihat keadaan ummat yang tidak seberuntung dirinya, yang telah mendapatkan nikmat berupa ilmu warisan para nabi.
Jika seperti itu keadaan para ulama, orang-orang yang berilmu, maka sungguh diri ini sangat jauh jaraknya dan sungguh sangat besar perbedaannya dengan mereka para ulama.
Sungguh sangat jauh antara kita dan mereka. Dianggap berilmu tetapi masih banyak ketawa, menertawakan mereka yang jauh dari ilmu dan menertawakan mereka yang dianggap ber-ilmu serta menertawakan mereka yang ngaku-ngaku punya ilmu, semoga tidak sampai pada derajat menertawakan orang-orang yang berilmu.
Memang diakui, terkadang lucu dan mengundang tawa orang-orang yang sebenarnya jauh dari ilmu namun dianggap berilmu atau ngaku-ngaku punya ilmu, bagaimana tidak, bagi orang yang punya ilmu meskipun sebesar inti atom sekalipun pasti akan mengetahui kekeliruannya, yang terkadang mengundang tawa meskipun sedih itu yang lebih utama.
Sebagai contoh, diantara mereka ada yang berani maju berdiri dihadapan jama'ah bertindak sebagai khotib merangkap imam sholat, berusaha membaca takbir, surah Al-Fatihah dan surah atau ayat Al Qur'an setelahnya dengan mantap, namun ketika diperhatikan dengan seksama apa yang dibacanya, disinilah yang terkadang mengundang tawa, biasanya di bulan suci ramadhan banyak imam atau penceramah yang membaca ayat yang ke-185 di surah Al Baqarah yang diakhir ayat disebutkan :
Karena terlalu semangat untuk memperindah bacaannya terkadang sampai lupa bahwa diayat tersebut seharusnya mati syin (ش) bukan sin (س), kedengarannya indah namun artinya berubah menjadi "supaya kamu mabuk".
Ada juga yang takbir dengan memanjangkan alif (آ) bukan Allahu Akbar (الله اكبر) tapi jadinya Aallahu Akbar (آلله اكبر), ini juga tentu merubah makna yang sebelumnya "pernyataan" berubah menjadi "pertanyaan"
Contoh terakhir ketika khotib menutup khotbahnya dengan bacaan yang didalamnya terdapat kalimat yang seharusnya dengan "La" pendek;
Namun dibaca panjang (Laa), ini menjadikan makna kalimat diatas berubah jadi nafi [kalimat negatif]...
Contoh kekeliruan yang sering terjadi diatas diangkat bukan untuk ditertawakan tapi agar ditinggalkan, dari sini terkadang saya pribadi merenung dan menyesal. Menyesal belajar Islam dan Bahasa Arab, yang dengannya terkadang kita temukan kesalahan orang lain, baik pribadi maupun golongan namun tidak mampu menegur, tidak mampu mengingatkan kesalahan tersebut secara langsung. Tapi sebaliknya, terkadang menjadikan kesalahan dan kekeliruan tersebut sebagai bahan tertawaan.
Akibatnya, tak jarang terlontar sangkaan kepada penuntut ilmu atau bahkan kepada para ulama' bahwa mereka adalah orang-orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain, tuduhan ini bisa saja benar, wallaho a'lam. Namun ketika kita duduk belajar mengkaji ilmu, maka kesalahan diri-diri kita akan nampak seiring bertambahnya ilmu yang kita pahami demikian pula kesalahan orang-orang yang menampakkan kesalahannya secara terang-terangan, tentu akan mudah bagi kita untuk mengetahuinya. Jadi tuduhan tersebut tidak selamanya benar, karena bisa jadi kesalahan-kesalahan yang mereka sebutkan itu didapatkan tanpa sengaja mencarinya, di sela-sela pelajaran. Bukankah orang-orang yang mengkaji tentang iman akan mengetahui secara tidak langsung apa itu kufur, demikian pula orang-orang yang belajar tentang sunnah akan mengetahui apa kebalikannya, maka seperti itu pula orang-orang yang senantiasa mencari kebenaran pasti dia secara tidak langsung akan menemukan kesalahan-kesalahan lawan dari kebenaran tersebut.
Semoga dengan semakin bertambahnya ilmu, semakin bertambah pula rasa takut hanya kepada Allah Ta'ala, karena sesungguhnya yang dapat diberi peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya.[3]
_________
[1]Lihat Tafsir Al-Muyassar
[2]Lihat Tafsir Ath-Thobary
[3]Baca QS. Fathir (35):18
________________
Faidah : Membaca Al Quran Dengan Kesalahan Gramatikal
Sesungguhnya yang takut kepada Allah dan senantiasa bertaqwa kepada-Nya, takut akan adzab-Nya dengan senantiasa melaksanakan ketaatan serta menjauhi maksiat kepada-Nya hanyalah ulama, orang-orang yang memiliki ilmu tentang Allah Subhanahu wata'ala dan sifat-sifat-Nya serta syariat-Nya demikian pula ilmu tentang ke-Maha Kuasa-an Allah Ta'ala atas segala sesuatu.[1]
Ibnu Abbas Radhiallahu 'anhu ketika menafsirkan ayat di atas, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama", beliau mengatakan :
"الذين يعلمون أن الله على كل شيء قدير"
-Mereka adalah- Orang-orang yang memiliki ilmu bahwa sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.[2]Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
«لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا، وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا»
Sekiranya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, sungguh kalian akan sedikit tertawa dan akan banyak menangis [HR. Bukhari]Semakin ber-ilmu seharusnya menjadikan seseorang semakin banyak menangis, bukan malah sebaliknya semakin banyak tertawa dan mengajak jama'ah untuk tertawa pula.
Semakin bertambah ilmu seharusnya menjadikan seseorang semakin banyak bersedih, menangisi dirinya dan bersedih melihat keadaan ummat yang tidak seberuntung dirinya, yang telah mendapatkan nikmat berupa ilmu warisan para nabi.
Jika seperti itu keadaan para ulama, orang-orang yang berilmu, maka sungguh diri ini sangat jauh jaraknya dan sungguh sangat besar perbedaannya dengan mereka para ulama.
Sungguh sangat jauh antara kita dan mereka. Dianggap berilmu tetapi masih banyak ketawa, menertawakan mereka yang jauh dari ilmu dan menertawakan mereka yang dianggap ber-ilmu serta menertawakan mereka yang ngaku-ngaku punya ilmu, semoga tidak sampai pada derajat menertawakan orang-orang yang berilmu.
Memang diakui, terkadang lucu dan mengundang tawa orang-orang yang sebenarnya jauh dari ilmu namun dianggap berilmu atau ngaku-ngaku punya ilmu, bagaimana tidak, bagi orang yang punya ilmu meskipun sebesar inti atom sekalipun pasti akan mengetahui kekeliruannya, yang terkadang mengundang tawa meskipun sedih itu yang lebih utama.
Sebagai contoh, diantara mereka ada yang berani maju berdiri dihadapan jama'ah bertindak sebagai khotib merangkap imam sholat, berusaha membaca takbir, surah Al-Fatihah dan surah atau ayat Al Qur'an setelahnya dengan mantap, namun ketika diperhatikan dengan seksama apa yang dibacanya, disinilah yang terkadang mengundang tawa, biasanya di bulan suci ramadhan banyak imam atau penceramah yang membaca ayat yang ke-185 di surah Al Baqarah yang diakhir ayat disebutkan :
{وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ} [البقرة: 185]
supaya kamu bersyukur. [Al Baqarah (2):185]Karena terlalu semangat untuk memperindah bacaannya terkadang sampai lupa bahwa diayat tersebut seharusnya mati syin (ش) bukan sin (س), kedengarannya indah namun artinya berubah menjadi "supaya kamu mabuk".
Ada juga yang takbir dengan memanjangkan alif (آ) bukan Allahu Akbar (الله اكبر) tapi jadinya Aallahu Akbar (آلله اكبر), ini juga tentu merubah makna yang sebelumnya "pernyataan" berubah menjadi "pertanyaan"
Contoh terakhir ketika khotib menutup khotbahnya dengan bacaan yang didalamnya terdapat kalimat yang seharusnya dengan "La" pendek;
وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besarNamun dibaca panjang (Laa), ini menjadikan makna kalimat diatas berubah jadi nafi [kalimat negatif]...
Contoh kekeliruan yang sering terjadi diatas diangkat bukan untuk ditertawakan tapi agar ditinggalkan, dari sini terkadang saya pribadi merenung dan menyesal. Menyesal belajar Islam dan Bahasa Arab, yang dengannya terkadang kita temukan kesalahan orang lain, baik pribadi maupun golongan namun tidak mampu menegur, tidak mampu mengingatkan kesalahan tersebut secara langsung. Tapi sebaliknya, terkadang menjadikan kesalahan dan kekeliruan tersebut sebagai bahan tertawaan.
Akibatnya, tak jarang terlontar sangkaan kepada penuntut ilmu atau bahkan kepada para ulama' bahwa mereka adalah orang-orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain, tuduhan ini bisa saja benar, wallaho a'lam. Namun ketika kita duduk belajar mengkaji ilmu, maka kesalahan diri-diri kita akan nampak seiring bertambahnya ilmu yang kita pahami demikian pula kesalahan orang-orang yang menampakkan kesalahannya secara terang-terangan, tentu akan mudah bagi kita untuk mengetahuinya. Jadi tuduhan tersebut tidak selamanya benar, karena bisa jadi kesalahan-kesalahan yang mereka sebutkan itu didapatkan tanpa sengaja mencarinya, di sela-sela pelajaran. Bukankah orang-orang yang mengkaji tentang iman akan mengetahui secara tidak langsung apa itu kufur, demikian pula orang-orang yang belajar tentang sunnah akan mengetahui apa kebalikannya, maka seperti itu pula orang-orang yang senantiasa mencari kebenaran pasti dia secara tidak langsung akan menemukan kesalahan-kesalahan lawan dari kebenaran tersebut.
Semoga dengan semakin bertambahnya ilmu, semakin bertambah pula rasa takut hanya kepada Allah Ta'ala, karena sesungguhnya yang dapat diberi peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya.[3]
_________
[1]Lihat Tafsir Al-Muyassar
[2]Lihat Tafsir Ath-Thobary
[3]Baca QS. Fathir (35):18
________________
Faidah : Membaca Al Quran Dengan Kesalahan Gramatikal
"Maka berbicaralah kamu berdua (Musa & Harun Alaihimassalam) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang LEMAH LEMBUT, mudah-mudahan ia ingat atau takut" [TQS. Thoha (20):44]